Lompat ke isi

Buddharūpa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Seni rupa Buddha)
Buddharūpa Wairocana di Mendut.

Buddharūpa atau Buddharūpaṁ (Pāli; Dewanagari: बुद्धरूप, secara harfiah bemakna "Rupa Sang Buddha" atau "Rupa Yang Sadar") adalah istilah yang merujuk pada seni perwujudan Buddha. Istilah ini berasal dari bahasa Pali dan Sanskerta, yaitu "rūpaṁ" yang dibaca "rupang" dalam bahasa Indonesia. Dalam tata bahasa Pali, akhiran menunjukkan bentuk akusatif (objek langsung) tunggal.[butuh rujukan]

Umat Buddha di Indonesia umumnya tidak menyebut seni perwujudan Buddha dengan istilah "patung Buddha", melainkan "rupang Buddha".

Ciri-ciri yang serupa

[sunting | sunting sumber]

Meskipun terdapat banyak variasi dan perbedaan rupa sang Buddha dalam banyak kebudayaan, serta banyak penafsiran mengenai kehidupan Buddha Gautama, terdapat pedoman dasar mengenai bagaimanakah penggambaran rupa sang Buddha, antara lain:

  • Jari-jari tangan dan kaki lebih panjang secara proporsional
  • Hidung yang mancung dan bangir
  • Cuping telinga yang lebar dan panjang
  • Urna, yaitu tonjolan pada dahi
  • Bahu yang kokoh dan lebar
  • Rambut berupa ikal-ikal keriting yang disanggul ke atas
  • Ekspresi wajah yang tenang, damai dan teduh
  • Kelopak mata hanya sedikit terbuka dan tatapan mengarah ke bawah

Cuping telinga yang memanjang dengan lubang bekas anting perhiasan melambangkan masa lalu Sang Buddha sebagai pangeran yang mengenakan banyak perhiasan mewah. Tonjolan pada tengah dahi menyerupai jerawat melambangkan hubungan yang longgar antara tubuh dan pikiran Sang Buddha atau Boddhisatwa, artinya ia memiliki wawasan pikiran yang melampaui manusia biasa yang mampu melihat menembus alam fana manusia yang hidup dalam lingkaran samsara.

Variasi regional

[sunting | sunting sumber]

Dalam berbagai budaya Sang Buddha digambarkan dalam banyak rupa, mulai dari digambarkan tampan dan gagah bagai satria pertapa dengan tubuh yang proposional, pertapa dengan wajah tenang dan damai yang tengah bermeditasi, hingga menggambarkan pengelana bertubuh gemuk dengan wajah gembira dan tengah tertawa.

Rupa Buddha dalam kesenian India, Afganistan, Sri Lanka, Tibet, dan Indonesia (Jawa kuno) biasanya digambarkan dengan proporsi tubuh ideal dan wajah yang rupawan. Bahkan dalam kesenian Gandhara India (sekitar abad ke-3 SM) yang dipengaruhi kesenian Yunani, rambut dan lipatan jubah Buddha digambarkan sangat naturalis, dan Pangeran Siddharta digambarkan bertubuh kekar. Buddha di dataran Asia Tenggara seperti Thailand, Laos, Myanmar dan Kamboja digambarkan berwajah tirus dan lonjong dengan tubuh yang langsing dan ujung mahkota rambut yang runcing. Dalam kesenian Buddhis Asia Timur, seperti di China, Korea, dan Jepang, Buddha cenderung digambarkan berperawakan lebih gemuk dan kokoh. Buddha di Vietnam lebih dipengaruhi gaya seni Buddha Asia Timur.

Dalam episode tertentu dalam kehidupan Buddha Gautama, ia digambarkan sebagai pertapa kurus kering dengan tulang-tulang yang menonjol. Gambaran ini untuk menceritakan upaya awal Siddharta untuk mencapai pencerahan, melakukan tindakan penyangkalan diri dengan berpuasa berlebihan dan menyiksa tubuh. Akhirnya Siddharta menyadari kesalahan ini dan melanjutkan bertapa di bawah pohon boddhi tanpa menyiksa diri. Dalam kesenian Buddhis China dikenal "Buddha Tertawa", tokoh ini berbeda dengan Buddha Gautama, ia adalah biksu Buddha Tionghoa yang digambarkan sebagai pengelana bertubuh gemuk yang riang gembira, serta dianggap membawa rezeki dalam kepercayaan Tionghoa.

Sikap tubuh dan artefak

[sunting | sunting sumber]

Citra Buddha Gautama biasanya digambarkan dalam ekspresi wajah yang tenang dalam posisi tubuh bersila posisi teratai, duduk, atau duduk setengah bersila dengan satu kaki dilipat. Sementara tangan melakukan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Beberapa pose lainnya menggambarkannya tengah berdiri memegang benda tertentu seperti bunga teratai, tongkat atau mangkuk derma, atau tengah berbaring dengan satu tangan menopang kepalanya, menggambarkan keberangkatan Buddha Sakyamuni ke Nirwana.

Pakaiannya pun bervariasi; di China dan Jepang di mana dianggap kurang pantas bagi biksu untuk memperlihatkan bahu terbuka, Buddha digambarkan mengenakan jubah tunik berlengan panjang. Sementara di Asia Tenggara dan India adalah wajar menggambarkan Buddha mengenakan jubah dengan salah satu bahunya terbuka. Di India bahkan sering kali Buddha digambarkan hanya mengenakan kain yang dililitkan di pinggang, bertelanjang dada tanpa mengenakan jubah bagian atas.

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

"Thai birth day colors and Buddha image". United States Muay Thai Association Inc. 16 October 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-13. Diakses tanggal 6 April 2011. An innovation of the Ayutthaya period. 

Referensi

[sunting | sunting sumber]