Buddhisme dan seksualitas
Bagian dari seri tentang |
Buddhisme |
---|
Dalam Dhammacakkappavattana Sutta, Gautama Buddha menyatakan bahwa "nafsu keinginan" (tanha) adalah penyebab penderitaan (dukkha). Ia kemudian menyebutkan tiga objek nafsu keinginan: nafsu untuk ada, nafsu untuk tidak ada, dan nafsu akan kenikmatan indra (kama). Kama dianggap sebagai salah satu dari lima hal yang menghalangi pencapaian jhana. Di dalam Sutta Pitaka, Buddha sering kali membandingkan kenikmatan seksual dengan panah. Begitu pula di dalam Kama Sutta Sutta Nipata, Buddha menjelaskan bahwa nafsu seksual adalah penyebab penderitaan:
Jika seseorang yang amat menginginkan kenikmatan seksual mencapainya, hatinya terpesona. Ia mendapat apa yang ia inginkan. Tapi jika kenikmatan itu berkurang, ia akan hancur seperti ditembak oleh panah.
— Kama Sutta, Sutta Nipata[1]
Buddha kemudian mengatakan:
Jadi seseorang sebaiknya menghindari nafsu seksual. Biarkan nafsu itu pergi, [maka] ia akan melintasi banjir seperti seseorang yang telah mencapai pesisir jauh setelah keluar dari kapal.
"Banjir" mengacu kepada luapan penderitaan seksual, "pesisir jauh" adalah nibbana, yaitu suatu keadaan tanpa nafsu seksual.
Selain menyarankan manusia untuk menghindari nafsu seksual, para biksu dan biksuni diharuskan berselibat (disebut brahmacarya).
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Kama Sutta, Sutta Nipata 4.1
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Buddhist Sexual Ethics: Main Issues – Alexander Berzin
- Buddhist & Western Views on Sex – Alexander Berzin
- Thinking through Texts: Toward a Critical Buddhist Theology of Sexuality by José Ignacio Cabezón, Public Lecture, Naropa University, September 23, 2008