Sunan
Sunan, dalam budaya suku-suku di Pulau Jawa, adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Kata ini merupakan penyingkatan dari susuhunan.[1] Kata ini berarti tempat penerima "susunan" jari yang sepuluh, atau dengan kata lain "sesembahan".
Pada periode sejarah Jawa pra-Islam gelar ini jarang dipakai atau tidak banyak didokumentasi. Pada awal-awal masuknya Islam di Jawa, gelar ini biasa diberikan untuk mubaligh atau penyebar agama Islam, khususnya di tanah Jawa pada abad ke-15 hingga abad ke-16. Selain sunan, ada pula mubaligh lainnya yang disebut syekh, kyai, ustadz, penghulu, atau tuan guru. Gelar "sunan" atau "susuhunan" juga diberikan kepada penguasa Kraton Surakarta Hadiningrat (Kasunanan Surakarta).
Gelar penguasa Jawa
[sunting | sunting sumber]Pemakaian lainnya untuk istilah "sunan" dan "susuhunan" adalah sebagai gelar bagi raja-raja dari Kesultanan Mataram semenjak Amangkurat I hingga suksesi pada Kasunanan Surakarta sampai sekarang. Ini adalah warisan Sultan Agung dari kerajaan Mataram Islam, yang mengklaim sebagai Sultan dan Sayidin Panatagama, yaitu raja dan pemimpin agama bagi masyarakat Jawa.
Walisongo
[sunting | sunting sumber]Walisongo adalah sembilan orang penyebar agama Islam di pulau Jawa yang paling terkenal di antara mereka yang mendapat sebutan sunan. Istilah Walisongo berasal dari kata wali (bahasa Arab, yang berarti wakil, dan sanga (bahasa Jawa, yang berarti sembilan). Mereka dianggapnya sebagai mubaligh agung, baik dari segi ilmu agama Islam maupun bobot segala jasa dan karomahnya terhadap kehidupan masyarakat dan kenegaraannya. Berikut ini adalah daftar sembilan wali yang secara umum dianggap sebagai Walisongo tersebut:
- Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
- Sunan Ampel atau Raden Rahmat
- Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
- Sunan Drajat atau Raden Qasim
- Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
- Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
- Sunan Kalijaga atau Raden Said
- Sunan Muria atau Raden Umar Said
- Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Sunan-sunan lain
[sunting | sunting sumber]Beberapa mubaligh lainnya selain Walisongo, khususnya yang terlibat dalam masa awal penyebaran agama Islam di Jawa, juga disebut sunan. Berikut ini adalah beberapa mubaligh lainnya yang mendapat gelar sunan:
- Sunan Bangkalan
- Sunan Bungkul
- Sunan Dalem
- Sunan Geseng, adalah murid Sunan Kalijaga
- Sunan Ngadilangu
- Sunan Ngerang
- Sunan Ngudung, adalah ayah Sunan Kudus
- Sunan Prawata, adalah putra sulung Sultan Trenggana
- Sunan Sendang Duwur
- Sunan Tembayat atau Sunan Pandanaran II, bupati kedua Semarang
- Sunan Wilis
- Sunan Lawu, Raden Gugur, putra Brawijaya-V
Penggunaan dalam masyarakat Sunda dan Tengger
[sunting | sunting sumber]Orang Sunda memakai "sunan" untuk menyebut orang yang memiliki kedudukan terhormat (Susuhunan). Salah satu contohnya adalah penyebutan tokoh Sunan Ambu, sosok perempuan mulia yang merupakan "ibu" dari kebudayaan dan peradaban Sunda.
Masyarakat Tengger yang mewarisi tradisi Jawa pra-Islam, menyebut beberapa nama leluhur dan roh-roh pelindung dengan gelar sunan Seperti Sunan Pernoto (roh yang mendiami pura luhur ponten dan juga salah satu anak Rara Anteng dan Joko Seger), Sunan Perniti (pelindung tangga naik ke Bromo, juga salah satu anak Rara Anteng dan Joko Seger), Sunan Dewa Kusuma (roh yang mendiami kawah Bromo, juga salah satu anak Roro Anteng dan Joko Seger), dan Sunan Ibu (Roh Bromo).