Banowati
भनुमती | |
---|---|
Tokoh Mahabharata | |
Nama | Banumati |
Ejaan Dewanagari | भनुमती |
Ejaan IAST | Bhanumatī |
Nama lain | Banowati (versi wayang) |
Kitab referensi | Mahabharata |
Asal | Kerajaan Kalinga |
Kediaman | Hastinapura, kerajaan Kuru |
Kasta | kesatria |
Dinasti | Kuru |
Ayah | Citranggada dari Kalinga |
Suami | Duryodana |
Anak | Laksmanakumara dan Laksmana |
Banowati atau Banumati (Dewanagari: भनुमती; IAST: Bhanumatī ) adalah nama yang diberikan untuk merujuk kepada istri Duryodana, tokoh dalam wiracarita India Mahabharata.[1][2] Nama tokoh ini sebenarnya tidak tercatat dalam kitab, meskipun peran dan keberadaannya tertulis dalam narasi. "Banumati" adalah nama yang diberikan dalam Mahabharata versi cerita rakyat di kawasan India Selatan dan Kakawin Bharatayuddha di Indonesia, sedangkan dalam kisah pewayangan Jawa yang mengadaptasi Mahabharata, tokoh ini disebut dengan nama "Banowati".[3][4]
Dalam Mahabharata tercatat petunjuk bahwa istri Duryodana adalah putri raja Citranggada dari Kalinga. Ia jarang terlibat dalam peristiwa-peristiwa penting, tetapi uraian tentang dirinya tertulis sebanyak dua kali, terutama pada kitab Striparwa (dinarasikan oleh Ratu Gandari), dan kitab Santiparwa (dinarasikan oleh Resi Narada) yang mengandung kisah tentang sayembara dirinya. Banowati dan Duryodana memiliki anak kembar buncing bernama Laksmanakumara (Laksmana) dan Laksmana (Laksmanā).
Nama
[sunting | sunting sumber]Nama "Banowati" atau "Banumati" sebagai istri Duryodana tidak pernah tercatat secara spesifik dalam kitab Mahabharata berbahasa Sanskerta, tetapi petunjuk tentang keberadaannya tercatat beberapa kali dalam kitab tersebut. Pertama, dalam buku Salyaparwa, yang mengandung kisah ratapan Duryodana akan nasib ibu dari Laksmanakumara (putranya yang gugur di perang Kurukshetra). Kemudian dalam Santiparwa, Gandari (ibu Duryodana) menyebutkan deskripsi tentang menantunya tanpa menyebut nama. Dalam buku Santiparwa, Resi Narada menceritakan kembali kisah persahabatan antara Duryodana dengan Karna. Dalam kisah tersebut, Narada menuturkan bagaimana Karna membantu Duryodana dalam usaha memboyong putri Raja Kalinga dari suatu sayembara, tanpa menyebut nama sang putri. Karena nama istri Duryodana tidak tercatat dalam wiracarita tersebut, maka namanya diciptakan dalam sejumlah cerita rakyat di India Selatan.[5]
Deskripsi
[sunting | sunting sumber]Pada saat sayembara, Resi Narada menyebutnya sebagai gadis dengan warna kulit yang menarik.
Ratu Gandari menyebut Banowati sebagai wanita dengan pinggul lebar dan rambut panjang. Ia memuji kecerdasan dan kekuatan fisiknya, dan berkata bahwa ia sering bermain adu ketangkasan dengan Duryodana. Setelah perang di Kurukshetra berakhir, Banowati tetap terlihat cantik menurut Gandari, meskipun kehilangan suami dan putranya, tetapi perasaannya terluka.
Riwayat
[sunting | sunting sumber]Dalam Mahabharata, buku Santiparwa diceritakan bahwa pangeran Duryodana dari Hastinapura diundang untuk menghadiri sayembara putri dari Raja Citranggada di Kalinga (nama sang putri tidak tercatat dalam kitab). Sebelum menuju ke sana, terlebih dahulu Duryodana pergi ke kota Rajapura untuk menjemput temannya, Karna. Di tempat sayembara, sudah banyak kesatria dari berbagai penjuru Bharatawarsha (India Kuno) yang hadir, antara lain: Sisupala, Jarasanda, Bismaka, Bakra, Kapotaroman, Nila, Rukmi, Sringga, Asoka, Satadanwa, dan lain-lain.[6]
Pada puncak acara, sang putri memasuki tempat sayembara sambil membawa puspamala, dengan diiringi pelayan dan pengawal. Sang putri tidak mengacuhkan Duryodana setelah mengetahui asal usul dan latar belakangnya. Padahal, Duryodana telanjur jatuh cinta kepada sang putri. Tak terima dengan penolakan sang putri, Duryodana pun meraih putri tersebut, lalu memaksa sang putri untuk naik ke kereta kencananya. Ia menantang para pelamar untuk melangkahi mayatnya dan Karna terlebih dahulu apabila ingin merebut sang putri. Berkat bantuan Karna, tidak ada pelamar yang berhasil merebut sang putri dari tangan Duryodana. Ada pula kesatria yang mengurungkan niat bertarung setelah melihat ketangguhan Karna.
Sesampainya di Hastinapura, Duryodana membela diri bahwa perbuatannya tidak dapat disalahkan. Ia membenarkan tindakannya dengan mengungkit masa lalu kakeknya, Bisma, yang juga pernah melarikan putri dari kerajaan Kasi. Pada akhirnya, sang putri mau menerima cinta Duryodana, lalu menikah dengannya. Dari pernikahannya, sang putri memiliki anak kembar buncing, yang diberi nama Laksmanakumara (Laksmana) dan Laksmanā. Laksmanakumara ikut bertempur membela ayahnya dalam perang di Kurukshetra, dan gugur di tangan Abimanyu, sepupunya. Sedangkan Laksmanā menikah dengan Samba, putra Kresna.[7]
Pewayangan Jawa
[sunting | sunting sumber]Menurut versi pewayangan Jawa, Banowati adalah putri Prabu Salya, raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Pujawati alias Setyawati, putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah. Ia mempunyai empat saudara kandung, masing-masing bernama: Dewi Erawati (permaisuri Prabu Baladewa), Dewi Surtikanti (permaisuri Adipati Karna), Arya Burisrawa, dan Bambang Rukmarata.
Dewi Banowati menikah dengan Prabu Suyudana (Duryodana) dari negara Astina, putra Prabu Dretarasta dengan Dewi Gandari. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama Raden Lesmana Mandrakumara dan Dewi Lesmanawati. Dewi Banowati berwatak jujur, penuh belas kasih, jatmika (penuh dengan sopan santun), tetapi agak sedikit genit.
Menurut kisah pewayangan, sesungguhnya Banowati jatuh cinta kepada Arjuna, tetapi demi mematuhi perintah ayahnya, ia menikah dengan Prabu Suyudana.[8] Cintanya kepada Arjuna bersemi kembali setelah gugurnya Prabu Suyudana dalam perang Baratayuda. Sesudah perang tersebut, Banowati dapat memenuhi angan-angannya untuk dinikahi Arjuna.[9] Tetapi, usia pernikahan tersebut tidak berlangsung lama. Pada malam pernikahannya—tepat setelah perang Baratayuda berakhir—ia dibunuh oleh Aswatama, putra Resi Drona, yang membalas dendam kepada seluruh pihak Pandawa atas kekalahan pihak Korawa. Banowati terbunuh di perkemahan para Pandawa di Kurusetra, bersama dengan Srikandi (istri Arjuna yang lain) dan putra Drupadi (Pancawala).
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Arthur Berriedale Keith (1992). The Sanskrit Drama in Its Origin, Development, Theory & Practice. Motilal Banarsidass. hlm. 213. ISBN 978-81-208-0977-2.
- ^ Vaisampayana. The Mahabharata: Book 1: Adi Parva, K. M. Ganguli, tr. Retrieved 5 October 2017
- ^ Valmiki; Vyasa (2018-05-19). Delphi Collected Sanskrit Epics (Illustrated) (dalam bahasa Inggris). Delphi Classics. ISBN 978-1-78656-128-2.
- ^ Anand Neelakantan (2015). Ajaya: Rise of Kali. p. 22
- ^ Sharma, Arvind (2007). Essays on the Mahābhārata (dalam bahasa Inggris). Motilal Banarsidass Publishe. ISBN 978-81-208-2738-7.
- ^ Chakravarti, Bishnupada (2007-11-13). Penguin Companion to the Mahabharata (dalam bahasa Inggris). Penguin UK. ISBN 978-93-5214-170-8.
- ^ Anonymous. The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa (Complete) (dalam bahasa Inggris). Library of Alexandria. ISBN 978-1-4655-2637-3.
- ^ Pattanaik, Devdutt (2010). Jaya: An Illustrated Retelling of the Mahabharata (dalam bahasa Inggris). Penguin Books India. ISBN 978-0-14-310425-4.
- ^ Hardjowirogo (1949), Sedjarah Wajang Purwa, Jakarta, hlm. 188
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- "The Mahabharata, Book 11: Stri Parva: Stri-vilapa-parva: Section 17". www.sacred-texts.com. Diakses tanggal 2020-11-03.
- Menon, Ramesh (2006-07-20). The Mahabharata: A Modern Rendering (dalam bahasa Inggris). iUniverse. ISBN 978-0-595-84565-1.