Lompat ke isi

Baruch de Spinoza

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Spinozisme)

Baruch de Spinoza
LahirBaruch Espinosa[1] /
Bento de Spinosa[2]

(1632-11-24)24 November 1632
Amsterdam, Republik Belanda
Meninggal21 Februari 1677(1677-02-21) (umur 44)
The Hague, Republik Belanda
Nama lainBenedictus de Spinoza
Pendidikan
Era
Kawasan
Aliran
Minat utama
Tanda tangan

Baruch de Spinoza[b] (24 November 1632 – 21 Februari 1677), juga dikenal dengan nama pena Latinnya Benedictus de Spinoza,[c] adalah seorang filsuf Yahudi-Portugis. Sebagai salah satu filsuf utama yang kelak akan mempengaruhi Abad Pencerahan, pemikiran Spinoza berkontribusi terhadap kritik teks alkitab modern, filsafat rasionalisme abad ke-17, dan konsepsi kontemporer tentang diri dan alam semesta. Ia secara luas dianggap sebagai salah satu filsuf paling penting dan radikal pada periode modern awal.[15] Pemikiran filsafatnya banyak dipengaruhi oleh Stoicisme, Maimonides, Niccolò Machiavelli, René Descartes, Thomas Hobbes, dan berbagai pemikir Kristen heterodoks pada zamannya.[16]

Spinoza lahir di Amsterdam dalam sebuah keluarga imigran marrano yang berasal dari Semenanjung Iberia. Ia mendapat pendidikan yang umumnya diberikan kepada anak laki-laki Yahudi, belajar bahasa Ibrani dan mempelajari teks kitab suci. Ia menjadi anggota komunitas Yahudi Portugis yang kaya karena ayahnya adalah salah satu anggota yang terkemuka. Ketika masih muda, Spinoza secara permanen dikeluarkan dari komunitas Yahudi karena menentang otoritas rabi dan memperdebatkan keyakinan agama Yahudi. Setelah dikeluarkan dari komunitas Yahudi pada tahun 1656, ia tidak menganut agama apapun, dan memfokuskan diri pada studi filsafat. Ia mempunyai kelompok pertemanan klandestin, sebuah sekte filosofis, yang rutin bertemu untuk mendiskusikan tulisan-tulisan yang ia bagikan kepada mereka semasa hidupnya. Setelah kematiannya, kelompok filsafat itu menyimpan tulisan-tulisan Spinoza yang tidak diterbitkan.[17]

Spinoza menentang asal usul ilahi dari Alkitab Ibrani, sifat Tuhan, dan kekuasaan yang dimiliki oleh otoritas agama, baik Yahudi maupun Kristen. Ia sering disebut ateis oleh orang-orang sezamannya, meskipun dalam karyanya Spinoza tidak pernah membantah keberadaan Tuhan.[18] Tidak seperti para sarjana kontemporer abad ke-21, “ketika para sarjana abad ketujuh belas menuduh Spinoza sebagai seorang ateis, yang mereka maksudkan adalah bahwa ia menentang ortodoksi agama, khususnya dalam masalah moral, dan bukan berarti bahwa ia menyangkal keberadaan Tuhan."[19] Studi teologisnya tidak dapat dipisahkan dari pemikirannya tentang politik; ia dapat dikelompokkan dengan para filsuf seperti Hobbes, John Locke, Gottfried Wilhelm Leibniz, dan Immanuel Kant, yang “membantu membentuk genre teori politik yang disebut teologi sekuler."[20]

Filsafat Spinoza meliputi berbagai bidang wacana filsafat, seperti metafisika, epistemologi, filsafat politik, etika, filsafat pikiran, dan filsafat ilmu pengetahuan. Dengan reputasinya sebagai salah satu pemikir paling orisinal dan berpengaruh pada abad ketujuh belas, Rebecca Goldstein menjulukinya sebagai "seorang pemberontak Yahudi yang memberikan kita modernitas".[21]

Riwayat Hidup

[sunting | sunting sumber]

Latar belakang keluarga dan pengaruh Uriel da Costa

[sunting | sunting sumber]

Nenek moyang Spinoza merupakan penganut Kripto-Yudaisme yang menjadi korban persekusi selama masa Inkuisisi Portugis. Mereka juga menjadi korban penyiksaan yang dipertontonkan di depan publik.[22] Pada tahun 1597, kakek dari pihak ayah Spinoza meninggalkan Vidigueira menuju Nantes untuk memulai kehidupan baru sebagai umat Kristen Baru. Mereka akhirnya pindah ke Belanda karena alasan yang tidak diketahui.[23] Nenek moyang dari pihak ibu Spinoza adalah keluarga pengusaha yang terkemuka di Oporto, [24] dan kakek dari pihak ibunnya adalah seorang pedagang terkemuka yang berpindah dari penganut Yudaisme menjadi penganut agama Kristen.[25] Spinoza dibesarkan oleh neneknya sejak usia enam tahun sampai berusia sembilan tahun. Ia mungkin banyak belajar tentang sejarah keluarganya dari neneknya.[26]

Adegan imajinasi Samuel Hirszenberg tentang Uriel da Costa yang mengajar Spinoza (1901)

Melalui koneksi ibunya, Spinoza sempat belajar dari filsuf Uriel da Costa, seorang filsuf kontroversial dalam komunitas Yahudi Portugis di Amsterdam.[27] Da Costa mempertanyakan kepercayaan tradisional Kristen dan Yahudi. Ia menyatakan, misalnya, asal usul agama-agama itu merupakan ciptaan manusia dan bukan wahyu Tuhan. Pertentangan dengan kelompok agama Yahudi menyebabkan da Costa dikucilkan dua kali oleh otoritas rabi, yang menjatuhkan hukuman penghinaan dan pengucilan sosial.[28] Pada tahun 1639, sebagai bagian dari perjanjian untuk diterima kembali dalam komunitas Yahudi, da Costa harus bersujud agar para jamaah dapat melangkahinya. Dia meninggal pada tahun 1640, dilaporkan bunuh diri.[29]

Steven Nadler menulis bahwa meskipun da Costa meninggal ketika Spinoza baru berusia delapan tahun, gagasannya mempengaruhi perkembangan intelektual Spinoza. Komunitas Yahudi di Amsterdam telah lama mendiskusikan skeptisisme da Costa terhadap agama-agama terorganisir, penolakan terhadap keabadian jiwa, dan gagasan bahwa Musa tidak menulis Taurat.[30]

Pendidikan dan bisnis keluarga

[sunting | sunting sumber]
Nama Spinoza dicoret dalam daftar murid Talmud Torah (Ets Haim dalam bahasa Ibrani)

Spinoza bersekolah di sekolah Talmud Torah yang bersebelahan dengan sinagoga Bet Ya'acov, yang dipimpin oleh Rabi senior Saul Levi Morteira.[31] Sekolah itu memberikan pengajaran dalam bahasa Spanyol, bahasa pembelajaran dan sastra. Para pelajar di sekolah itu belajar membaca buku doa dan Taurat dalam bahasa Ibrani, menerjemahkan bagian mingguan ke dalam bahasa Spanyol, dan mempelajari komentar Rashi.[32] Nama Spinoza tidak muncul dalam daftar setelah usia empat belas tahun, kemungkinan besar, dia tidak pernah belajar dengan para rabi seperti Manasseh ben Israel dan Morteira. Spinoza mungkin mulai bekerja sekitar usia empat belas tahun karena dibutuhkan dalam bisnis ayahnya setelah saudaranya meninggal pada tahun 1649.[33]

Selama Perang Inggris-Belanda Pertama, sebagian besar kapal dan kargo perusahaan keluarga Spinoza disita oleh kapal Inggris. Perusahaan tersebut dibebani dengan hutang pada akhir perang pada tahun 1654 karena pelayaran dagangnya dicegat oleh Inggris, yang menyebabkan perusahaan keluarga Spinoza bankrut.[34] Ayah Spinoza meninggal pada tahun 1654. Hal ini menyebabkan Spinoza harus mengambil tanggung jawab dalam mengatur dan memimpin ritual berkabung Yahudi, dan menjalin kemitraan bisnis dengan saudara laki-lakinya dari perusahaan warisan mereka.[35] Pada tahun 1655, kekayaan keluarga tersebut telah menguap dan bisnisnya berakhir secara efektif.[36]

Dikucilkan dari Sinagoge

[sunting | sunting sumber]
Spinoza yang dikucilkan oleh Samuel Hirszenberg (1907), lukisan kedua dari dua lukisan modernnya yang membayangkan kehidupan Spinoza.

Amsterdam merupakan kota yang toleran terhadap keberagaman agama. Orang-orang Yahudi secara bebas dapat menjalankan kepercayaannya dan tidak dikurung dalam ghetto. Komunitas Yahudi di sana berkepentingan untuk melindungi reputasi mereka dan tidak berhubungan dengan Spinoza.[37] Spinoza awalnya tidak secara terbuka mengemukakan pandangannya tentang otoritas Yahudi. Namun, setelah ayahnya meninggal pada tahun 1654, ia secara terbuka mengkritik dan menentang otoritas Yahudi. Hal ini berakibat tekanan agama, keuangan, dan hukum yang berkepanjangan yang dialaminya dari komunitas Yahudi.[38]

Pada tanggal 27 Juli 1656, para pemimpin komunitas Talmud Torah, termasuk Aboab de Fonseca,[39] mengeluarkan surat herem melawan Spinoza yang masih berusia 23 tahun.[40] Pengecaman terhadap Spinoza adalah yang paling keras yang pernah diberikan dalam masyarakat itu dan membawa dampak emosional dan spiritual yang luar biasa.[41] Alasan pengucilan Spinoza dalam herem tersebut adalah: "bid'ah yang keji", "perbuatan yang mengerikan", dan kesaksian para saksi "di hadapan Espinoza tersebut".[42] Meskipun pemerintah kota Amsterdam tidak terlibat langsung dalam pengecaman terhadap Spinoza, dewan kota secara tegas memerintahkan komunitas Portugis-Yahudi untuk mengatur perilaku mereka dan memastikan bahwa komunitas tersebut tetap menaati hukum Yahudi.[43]

Sebelum pengusiran, Spinoza belum menerbitkan apapun atau menulis risalah; Steven Nadler menyatakan bahwa jika Spinoza menyuarakan kritiknya terhadap Yudaisme yang kemudian muncul melalui karya filosofisnya, seperti Bagian I dari Etika, maka tidak heran jika ia dihukum berat.[44] Dia mungkin sudah menyuarakan pandangan yang diungkapkan kemudian dalam Risalah Teologis-Politiknya bahwa otoritas sipil harus merepresi Yudaisme karena dianggap merugikan orang-orang Yahudi itu sendiri. Tidak seperti kebanyakan kecaman yang dikeluarkan oleh jemaat Amsterdam, kecaman tersebut tidak pernah dibatalkan. Setelah kecaman tersebut, Spinoza dikatakan pernah menulis sebuah surat permintaan maaf dalam bahasa Spanyol kepada para pemimpin komunitas Yahudi, dimana ia membela pandangannya dan mengutuk para rabi, namun surat tersebut dinyatakan hilang.[45]

Pengusiran Spinoza dari komunitas Yahudi tidak membuatnya menganut agama Kristen.[46] Dari tahun 1656-1661, Spinoza mencari penginapan di Amsterdam dan Leiden. Ia hidup dari mengajar sambil belajar menggiling lensa dan membuat mikroskop dan teleskop.[47] Spinoza tidak mempertahankan identitas Yahudinya; ia berpendapat bahwa tanpa kepatuhan terhadap hukum Yahudi, orang-orang Yahudi tidak memiliki dasar perbedaan dan identitas, ia menganggap bahwa gagasan tentang Yahudi sekuler adalah tidak koheren.[48]

Kelompok studi

[sunting | sunting sumber]

Sejak tahun 1654, Spinoza mulai belajar bahasa Latin kepada Franciscus van den Enden, seorang mantan Yesuit dan ateis, yang kemungkinan besar memperkenalkan Spinoza pada filsafat skolastik dan modern, termasuk Descartes, yang mempunyai pengaruh dominan terhadap filsafat Spinoza.[49] Saat tinggal di Van den Enden, Spinoza belajar di sekolahnya. Di sana, ia juga belajar seni dan ilmu sains.[50] Banyak dari temannya adalah pemikir bebas yang sekuler dan tergabung dalam kelompok yang menolak otoritas gereja Kristen dan dogma tradisional.[51] Spinoza juga berteman dengan anggota Collegiants, sekelompok Mennonit yang tidak puas dan sekte Reformed lain yang berbeda pendapat teologi ortodoks.[52] Jonathan Israel menduga bahwa tokoh lain yang mempengaruhi Spinoza adalah penerjemah ateis Jan Hendriksz Glazemaker, seorang kolaborator teman Spinoza dan penerbit Rieuwertsz, yang juga memperkenalkan Spinoza pada filsafat Cartesian, matematika, dan penggilingan lensa.[53]

Setelah mempelajari bahasa Latin dengan Van Enden, Spinoza belajar di Universitas Leiden pada tahun 1658.[54] Di sana, ia mengaudit kelas filsafat Cartesian.[d] Dari tahun 1656-61, mitra diskusi utama Spinoza adalah Van den Enden, Pieter Balling, Jarig Jelles, Lodewijk Meyer, Johannes Bouwmeester dan Adriaan Koerbagh.[56] Pengikut Spinoza, atau sekte filosofis,[57] menelaah argumen Etika ketika masih berupa naskah draf dan teks kedua Spinoza, Short Treatise on God, Man, and His Well-Being.[58] Reputasi publik mereka di Amsterdam buruk. Ole Borch mengejek mereka sebagai "ateis".[59] Sepanjang hidupnya, Spinoza mempunyai tendensi untuk menghindari pertarungan intelektual secara terbuka dan kontroversi publik. Ia menganggap bahwa hal-hal ini sebagai pemborosan energi yang tidak memiliki tujuan.[60]

Karya-karyanya

[sunting | sunting sumber]
Halaman Pembuka dari salah satukarya Spinoza magnum opus, Ethics
  • Renati Descartes Principiorum Philosophiae, 1663 (Prinsip Filsafat Descartes)
  • Tractatus Theologico-Politicus, 1670 (Traktat Politis-Teologis)
  • Tractatus de intellectus emendatione, 1677 (Traktat tentang Perbaikan Pemahaman)
  • Ethica more geometrico demonstrata, 1677 (Etika yang dibuktikan secara geometris)

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Nadler 1999, hlm. 45.
  2. ^ Nadler 1999, hlm. 119.
  3. ^ Adler 2014, hlm. 27.
  4. ^ Garber 2015, hlm. 121.
  5. ^ Newlands 2017, hlm. 64.
  6. ^ (Inggris) Entri The Coherence Theory of Truth di Stanford Encyclopedia of Philosophy
  7. ^ (Inggris) Entri The Correspondence Theory of Truth di Stanford Encyclopedia of Philosophy
  8. ^ Della Rocca 2018, hlm. 288.
  9. ^ Kreines 2015, hlm. 25.
  10. ^ (Inggris) Entri Spinoza's Psychological Theory di Stanford Encyclopedia of Philosophy
  11. ^ Yovel 1989b, hlm. 3.
  12. ^ "Spinoza". Collins English Dictionary. HarperCollins. Diakses tanggal 27 April 2019. 
  13. ^ Nadler 1999, hlm. 42.
  14. ^ Nadler 1999, hlm. 163.
  15. ^ Nadler 2018, hlm. xiii.
  16. ^ Dutton. Internet Encyclopedia of Philosophy. 
  17. ^ Israel 2023, hlm. 322, 327-51.
  18. ^ Stewart 2006, hlm. 352.
  19. ^ Carlisle 2021, hlm. 10.
  20. ^ Smith 1997, hlm. 2.
  21. ^ Goldstein 2006, hlm. i.
  22. ^ Israel 2023, hlm. 85.
  23. ^ Israel 2023, hlm. 134.
  24. ^ Israel 2023, hlm. 88.
  25. ^ Israel 2023, hlm. 299.
  26. ^ Israel 2023, hlm. 124.
  27. ^ Israel 2023, hlm. 159.
  28. ^ Israel 2023, hlm. 160.
  29. ^ Israel 2023, hlm. 161.
  30. ^ Nadler 2018, hlm. 84.
  31. ^ Israel 2023, hlm. 148–49.
  32. ^ Nadler 2018, hlm. 72-75.
  33. ^ Nadler 2018, hlm. 93.
  34. ^ Nadler 2018, hlm. 100-101.
  35. ^ Israel 2023, hlm. 204-05.
  36. ^ Israel 2023, hlm. 205-06.
  37. ^ Nadler 2001, hlm. 17–22.
  38. ^ Nadler 2001, hlm. 25.
  39. ^ Israel 2023, hlm. 74.
  40. ^ Scruton 2002, hlm. 21.
  41. ^ Nadler 2001, hlm. 2-7.
  42. ^ Smith 2003, hlm. xx.
  43. ^ Nadler 2001, hlm. 19.
  44. ^ Nadler 2001, hlm. 16.
  45. ^ Scruton 2002, hlm. 22.
  46. ^ Israel 2023, hlm. 229-30.
  47. ^ Israel 2023, hlm. 243.
  48. ^ Nadler 2011, hlm. 167.
  49. ^ Nadler 2018, hlm. 129-30.
  50. ^ Nadler 2018, hlm. 125-26.
  51. ^ Israel 2023, hlm. 342.
  52. ^ Nadler 2018, hlm. 168.
  53. ^ Israel 2023, hlm. 338-39.
  54. ^ Nadler 2018, hlm. 184.
  55. ^ Nadler 2018, hlm. 193.
  56. ^ Israel 2023, hlm. 333-38.
  57. ^ Israel 2023, hlm. 322.
  58. ^ Israel 2023, hlm. 330.
  59. ^ Israel 2023, hlm. 344.
  60. ^ Israel 2023, hlm. 343.
  1. ^ Spinoza has also been interpreted as a defender of the coherence theory of truth.[6]
  2. ^ /bəˈrk spɪˈnzə/;[12] Dutch: [baːˈrux spɪˈnoːzaː]; Portuguese: [ðɨ ʃpiˈnɔzɐ]; bahasa Ibrani: ברוך שפינוזה‎. Most documents within the Jewish community give his name as Bento. A few refer to him as Baruch, the Hebrew translation of Bento, which means "Blessed".[13] Later, as an author and correspondent, his preferred name in Latin was Benedictus de Spinoza, with the first name sometimes anglicized as Benedict.
  3. ^ Steven Nadler speculates that Spinoza Latinized his name when he started to audit classes at the University of Leiden in 1659.[14]
  4. ^ Steven Nadler speculates that Spinoza Latinized his name at Leiden because all instruction was in Latin.[55]