Heliosentrisme
Heliosentrisme adalah salah satu model astronomi yang menjadikan Matahari sebagai pusat Tata Surya. Konsepnya pertama kali dikemukakan oleh Aristarkhos dari Samos (310-230 SM) pada zaman Yunani Kuno. Namun konsep ini tidak berkembang karena masyarakat pada masa itu meyakini geosentrisme yang dikemukakan oleh Hipparkhos (161-126 SM) dan diberi pembuktian oleh Klaudius Ptolemaeus. Paham heliosentrisme tidak berkembang hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-16 Masehi, George Joachim menulis kembali konsep heliosentrisme ke dalam bukunya yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium (1543). Heliosentrisme kemudian dikembangkan oleh Nicolaus Copernicus (1473–1543 M) dengan menggunakan istilah Tata Surya. Namun, gagasannya bertentangan dengan pendapat umum yang masih meyakini geosentrisme. Giordano Bruno kemudian mengajarkan model heliosentrisme Copernicus. Namun ia kemudian menerima hukuman mati dari Gereja Katolik Roma atas ajarannya tersebut. Di sisi lain, Johannes Kepler mengembangkan heliosentrisme Nicolaus Copernicus dan mengatasi kekurangan-kekurangannya. Ia kemudian menetapkan Hukum Gerakan Planet Kepler.
Heliosentrisme kemudian berkembang pesat dukungannya akibat positivisme pengetahuan pada Abad Pencerahan. Galileo Galilei akhirnya mampu memperkuat teori heliosentrisme Copernicus menggunakan teleskop dan menentang teori geosentrisme Ptolomeus. Karena itu, para tokoh agama Kristen mengadakan penafsiran baru atas kitab suci mengenai pusat Tata Surya. Sehingga heliosentrisme kemudian menjadi kebenaran ilmiah menggantikan geosentrisme.
Asal-usul nama
suntingKata heliosentrisme berasal dari bahasa Yunani (ήλιος Helios = Matahari, dan κέντρον kentron = pusat). Secara historis, heliosentrisme bertentangan dengan geosentrisme, yang menempatkan Bumi di pusat alam semesta.
Sejarah
suntingPada zaman Yunani Kuno, keyakinan yang ada di masyarakat bahwa alam semesta berpusat ke Dewa Zeus. Keyakinan ini merupakan bagian dari mazhab naturalisme.[1] Tokoh pertama yang diketahui secara jelas mengemukakan heliosentrisme ialah Aristarkhos dari Samos (310-230 SM). Aristarkhos menyatakan bahwa bumi berbentuk bulat dan mengalami perputaran secara mandiri.[2] Perputaran Bumi menurutnya sambil mengelilingi Matahari.[3] Namun, pendapat Aristarkhus mengenai heliosentrisme ditolak oleh dirinya sendiri. Karena pada masa hidupnya, heliosentrisme belum diterima dalam bidang astronomi.[4]
Heliosentrisme yang dikemukakan oleh Aristarkhus juga tidak berkembang karena adanya pandangan geosentrisme. Pandangan geosentrisme ini dikemukakan oleh Hipparkhos (161-126 SM) yang menolak pandangan heliosentrisme. Geosentrisme yang dikemukakan oleh Hipparkhos menjadi pemikiran yang utama karena adanya bukti-bukti yang meyakinkan pada masanya. Paham geosentrisme juga menguat setelah diberi tambahan keterangan oleh ahli astronomi dan ahli geografi bernama Klaudius Ptolemaeus. Hingga Yunani masuk dalam kekuasaan Kekaisaran Romawi, geostenrisme bertahan karena tidak ada tokoh pemikir baru.[2] Model Platonis mengenai geometri masih diyakini di Eropa hingga lima belas abad sejak berakhirnya masa Yunani Kuno. Dalam model ini, Bumi menjadi pusat dengan sebuah bola kristal yang mengelilinginya.[5]
Heliosentrisme digagas kembali sekitar tahun 1543.[6] Penggagas konsepnya adalah Nicolaus Copernicus (1473–1543 M).[7] Ia adalah seorang ilmuwan berkebangsaan Polandia.[6] Gagasannya ini disampaikan dalam risalah yang ditulisnya dengan judul On the Revolutions.[8] Tujuan gagasan heliosentrisme yang dikemukakan oleh Copernicus untuk menggantikan geosentrisme yang disampaikan oleh Klaudius Ptolemaeus.[9] Nicolaus Copernicus sendiri hanya berniat menggunakan heliosentrisme untuk memudahkan perhitungan. Ia tidak berniat menjadikan heliosentrisme sebagai sistem.[10] Model geosentrisme dianggap tidak sederhana sehingga perlu diganti menjadi heliosentrisme yang modelnya sederhana.[6]
Nicolaus Copernicus kemudian memberikan gagasan yang menyatakan bahwa bumi dan semua planet bergerak mengelilingi matahari sebagai pusatnya. Pada masa hidupnya, gagasan Copernicus bertentangan dengan pendapat umum. Gagasan yang diterima saat itu berasal dari gagasan Hipparkhos dan Klaudius Ptolomeus. Kedua tokoh ini menyatakan bahwa Bumi merupakan pusat alam semesta.[11] Masyarakat pada masa hidupnya lebih memilih menganggap benar keputusan gereja dibandingkan dengan melihat bukti-bukti empiris.[12]
Heliosentrisme yang disampaikan oleh Nicolaus Copernicus kemudian diajarkan oleh Giordano Bruno dan dikembangkannya. Giordano Bruno menambahkan bahwa terdapat sistem tata surya lain yang juga memiliki makhluk hidup. Karena ajarannya ini dianggap sesat oleh geraja, Inkuisisi Roma ditugaskan untuk menangkap dan memenjarakannya di Castel Sant'Angelo di Roma. Giordano Bruno mengalami persidangan selama tujuh tahun dan diminta bertobat. Namun dirinya menolak sehingga Paus Klemen III memutuskan hukuman mati kepadanya.[13] Jenis hukuman yang diterimanya adalah dibakar hidup-hidup.[14]
Teori heliosentrisme kembali dikemukakan oleh Galileo Galilei. Melalui penelitian, Galileo Galilei memperkuat teori heliosentrisme Copernicus dan menentang teori geosentrisme Ptolomeus.[15] Namun, teori yang dikemukakan oleh Galileo Galilei bertentangan dengan keterangan yang diberikan oleh Alkitab.[16] Karenanya, pihak gereja menetapkan hukuman tahanan rumah seumur hidup atas Galileo Galilei.[17] Selain itu, karya-karya yang dibuat oleh Galileo Galilei dibredel.[18]
Heliosentrisme kembali muncul sebagai salah satu pemikiran yang muncul akibat positivisme pengetahuan pada Abad Pencerahan. Suatu kebenaran diyakini akan dapat diperoleh menggunakan akal dan budi manusia itu sendiri. Pemikirannya berawal dari penolakan ilmuwan atas pengetahuan yang hanya didasarkan oleh doktrin gereja melalui dalil dalam kitab suci, maupun oleh legitimasi raja.[19]
Teori heliosentris kemudian mulai mendapat dukungan dari para tokoh agama Kristen setelah diadakan penafsiran baru atas kitab suci. Pemahaman agama Kristen atas heliosentrisme kemudian mulai berubah bersamaan dengan munculnya teori-teori sains yang mendukungnya.[20] Teori heliosentris pada zaman modern telah dijadikan kebenaran ilmiah menggantikan teori geosentrisme.[21] Sehingga teori geosentrisme tidak berlaku sebagai kebenaran ilmiah.[22]
Konsep
suntingKonsep Aristarkhos dari Samos
suntingKonsep heliosentisme yang paling awal dikemukakan oleh Aristarkhos dari Samos (310- 230 SM). Ia merupakan tokoh helenisme yang ahli dalam bidang astronomi. Aristarkhos meyakini bahwa Bumi melakukan rotasi setiap hari pada sumbunya dengan perputaran penuh. Rotasi Bumi ini diyakininya bersama dengan proses mengelilingi Matahari sekali dalam waktu satu tahun. Perputaran Bumi ini dilakukan tanpa ada pergerakan dari Matahari dan bintang-bintang.[23]
Konsep oleh George Joachim
suntingHeliosentrisme mulai disusun sebagai konsep oleh George Joachim. Ia menulis sebuah buku berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium (Tentang Perputaran Alam Semesta). Dalam bukunya ini, Joachim menetapkan tiga asas dasar sebagai pengantar. Asas pertama bahwa seluruh alam semesta merupakan bola. Asas kedua bahwa Bumi dan semua benda di luar angkasa berbentuk bola. Asas ketiga bahwa semua benda di angkasa bergerak dalam lintasan yang berbentuk bundar secara teratur.[24] De Revolutionibus Orbium Coelestium disusun oleh George Joachim pada tahun 1543.[25]
Konsep Nicolaus Copernicus
suntingNicolaus Copernicus kemudian mengenalkan istilah tata surya untuk menolak geosentrisme dan mendukung heliosentrisme.[26] Model heliosentrisme yang disampaikan oleh Copernicus mengikutkan planet dan benda-benda luar angkasa lainnya. Semua benda ini mengelilingi matahari sebagai pusat alam semesta.[27] Benda-benda yang mengelilingi Matahari meliputi planet, bintang, asteroid dan komet.[6] Copernicus menyatakan orbit yang menjadi lintasan bagi planet dan bintang berbentuk lingkaran.[28]
Konsep oleh Johannes Kepler
suntingModel heliosentrisme yang disampaikan oleh Copernicus memiliki kekurangan. Kekurangan pertama yaitu ditemukan fakta bahwa bintang tidak bergerak mengelilingi Matahari. Kekurangan kedua adalah mengenai bentuk orbit yang bukan lingkaran. Kekurangan kedua diketahui setelah pengukuran jarak antara planet dan Matahari mengalami perubahan selama revolusi Matahari.[29] Kekurangan ini ditemukan oleh Johannes Kepler (1571-1630) ketika ia mengamati planet Mars saat bekerja sebagai asisten seorang astronom bernama Tycho Brahe.[butuh rujukan] Tycho Brahe diketahui telah menetapkan elemen-elemen yang terdapat di dalam heliosentrisme. Perlengkapan untuk pengukuran tentang heliosentrisme telah dibuat oleh Tycho Brahe.[30]
Johannes Kepler merupakan matematikawan, sehingga ia kemudian menyempurnakan kelemahan model heliosentris yang dikemukakan oleh Copernicus menggunakan analisis matematis. Melalui teleskop astronomi buatan Tycho Brahe, Johannes Kepler mengumpulkan data untuk memperoleh informasi mengenai orbit planet. Ia kemudian menemukan bahwa bentuk orbit bukan lingkaran, melainkan elips.[butuh rujukan]
Penemuannya mengenai orbit yang berbentuk elips kemudian membuat Johannes Kepler mengemukakan Hukum Gerakan Planet Kepler. Jumlah pernyataannya ada tiga dan secara berurut dikenal sebagai hukum elips, hukum kesamaan luas dan hukum harmonik. Publikasi atas hukum pertama diadakan pada tahun 1609. Hukum pertama menyatakan bahwa semua planet bergerak dalam lintasan elips. Lintasan ini mengelililingi Matahari yang terletak di salah satu titik fokus elips. Kemudian hukum kedua dipublikasikan pada tahun yang sama. Pernyataannya bahwa sapuan luas oleh garis penghubung antara planet dan Matahari berada dalam selang waktu yang sama. Sementara hukum ketiganya dipublikasikan pada tahun 1618.[31]
Konsep oleh Galileo Galilei
suntingPendapat Johannes Kepler mengenai heliosentrisme didukung oleh Galileo Galilei (1546–1642). Galileo Galilei membuat sebuah teropong besar yang digunakannya untuk mengamati beberapa peristiwa angkasa secara langsung. Dari hasil pengamatannya, Galileo Galilei menemukan beberapa hal. Penemuan pertama bahwa terjadi perubahan-perubahan pada planet venus dan merkurius sama halnya seperti di Bulan. Perubahan ini kemudian sampai pada kesimpulan bahwa planet-planet tidak memantulkan cahayanya sendiri. Cahaya yan dipantulkan berasal dari sinar matahari. Galileo kemudian berpendapat bahwa tidak akan terjadi perubahan pada benda yang bersinar sendiri. Penemuan kedua bahwa Bulan memiliki permukaan datar yang tidak sempurna. Bagian permukaannya bersifat kasar dan tidak rata karena terdiri dari gunung-gunung dan lembah. Sehingga permukaan Bulan mirip dengan permukaan Bumi.[32]
Referensi
suntingCatatan kaki
sunting- ^ Rato, Dominikus (Oktober 2019). "Kosmologi Tanah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam". Dalam Busroh, H. F., Haryadi, T., dan Junaidi. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Pada Kearifan Lokal Masyarakat Adat Dan Eksistensinya Dalam Hukum Nasional (PDF). Palembang: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda. hlm. 88. ISBN 978-623-90705-1-9. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-10-01. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ a b Effendi dan Setiadi 2010, hlm. 169.
- ^ Hasan, Hajar (Agustus 2021). Metode Hisab Tuan Guru Abdurrahman Ya'kub dalam Menetapkan Arah Kiblat Waktu Shalat dan Awal Bulan Kamariah (PDF). Sleman: Kalimedia. hlm. 85. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Ramadhani 2018, hlm. 123-124.
- ^ Qorib, M., dkk. (Januari 2021). Butar-Butar, A. J. R., dan Raisal, A. Y., ed. Book Chapter Astronomi Islam. Medan: UMSU Press. hlm. 56. ISBN 978-623-6888-36-0.
- ^ a b c d Ramadhani 2018, hlm. 124.
- ^ Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Oktober 2015). Eksistensi Kehidupan di Alam Semesta dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains (PDF). Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. hlm. 63. ISBN 978-979-111-010-5. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Taufiqurrahman (September 2021). Maqin, Khoiril, ed. Mengapa Sains Layak Dipercaya?: Esai-esai tentang Filsafat dan Sains. Sleman: Antinomi Institute. hlm. 42. ISBN 978-623-96375-6-9.
- ^ Adnan, Gunawan (Januari 2021). Safriansyah, Renaldi, ed. Filsafat Kontemporer: Diskursus Filsafat Barat dan Islam (PDF). Banda Aceh: Ar-raniry Press. hlm. 30. ISBN 978-623-7410-42-3. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Suaedi (Januari 2016). Januarini, Nia, ed. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: Penerbit IPB Press. hlm. 33. ISBN 978-979-493-888-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-01. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Suhasti 2020, hlm. 38.
- ^ Suhasti 2020, hlm. 64.
- ^ Waton 2021, hlm. 74-75.
- ^ an-Naisaburi, Abu al-Qasim (Maret 2017). Kitab Kebijaksanaan Orang-Orang Gila: 500 Kisah Muslim Genius yang Dianggap Gila dalam Sejarah Islam. Jakarta Selatan: Wali Pustaka. hlm. 4. ISBN 978-602-74064-6-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-01. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Kleden, I., dan Abdullah, T., ed. (2017). Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Penelitian: Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora di Indonesia. Jakarta: LIPI Press. hlm. 5. ISBN 978-979-799-880-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-04. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Kholid, I., dan Supriyadi (2020). Harmonisasi Sains dan Agama: Panduan Praktis untuk Pembelajaran Biologi (PDF). Bandar Lampung. hlm. 3. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Yogia, M. A., dan Wedayanti, M. D. (2019). Prihatin, Panca Setyo, ed. Corporate Social Responsibility dan Ekologi Administrasi Publik (PDF). Pekanbaru: Marpoyan Tujuh Publishing. hlm. 18. ISBN 978-602-6403-10-0. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Waton 2021, hlm. 74.
- ^ Prabowo, Rian Adhivira (Oktober 2020). Pengantar Filsafat Hukum. Bantul: CV Lintas Nalar. hlm. 39. ISBN 978-623-7212-48-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-01. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Fridiyanto (April 2020). Suhairi, ed. Paradigma Wahdatul ‘Ulum UIN Sumatera Utara: Strategi Bersaing menuju Perguruan Tinggi Islam Kompetitif (PDF). Batu: Literasi Nusantara. hlm. 73. ISBN 978-623-7743-74-3. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Awaludin, M., dan Rahman, M. F. (11 Juli 2022). Syahri, Akhmad, ed. Hisab Rukyat Indonesia: Diversitas Metode Penentuan Awal Bulan Kamariah (PDF). Lombok Barat: CV.Alfa Press. hlm. 28. ISBN 978-623-09-0110-2. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Syamsudin, M., dkk. (September 2009). Pendidikan Pancasila: Menempatkan Pancasila dalam Konteks Keislamaan dan Keindonesiaan (PDF). Yogyakarta: Total Media. hlm. 69. ISBN 979-1519-27-7. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-03-20. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Zuhdi, M. H., dan Al Muhtadi, A. S. (Desember 2021). Thohri, Muhammad, ed. Ilmu Falak Astronomi: Teori dan Aplikasi Dasar (PDF). Mataram: UIN Mataram Press. hlm. 23. ISBN 978-623-98882-1-3. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Suhasti 2020, hlm. 39.
- ^ Effendi dan Setiadi 2010, hlm. 171.
- ^ Effendi, Rusdi (2020). Akmal, Helmi, ed. Geografi dan Ilmu Sejarah: Deskripsi Geohistori untuk Ilmu Bantu Sejarah (PDF). Banjarmasin: Pogram Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat. hlm. 14–15. ISBN 978-623-93665-2-0. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Daud, Mohd. Kalam (Maret 2019). Djawas, Mursyid, ed. Studi Ilmu Falak: Arah Kiblat dan Waktu Shalat (PDF). Aceh Besar: Sahifah. hlm. 17. ISBN 978-623-90608-0-0. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Mashudi (November 2015). Fanani, Zainul, ed. Inovasi Pembelajaran dan Bahan Ajar: Suatu Pendekatan Teknologi Pembelajaran (PDF). Jember: IAIN Jember Press. hlm. 5. ISBN 978-602-414-054-0. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Ramadhani 2018, hlm. 125.
- ^ Abidin, Muhammad Zainal (April 2016). Paradigma Islam dalam Pembangunan Ilmu Integralistik: Membaca Pemikiran Kuntowijoyo (PDF). Banjarmasin: IAIN Antasari Press. hlm. 59. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-02-01.
- ^ Ramadhani 2018, hlm. 126.
- ^ Suhasti 2020, hlm. 40.
Daftar pustaka
sunting- Effendi, R., dan Setiadi, E. M. (2010). Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi. Bandung: UPI Press.
- Suhasti, Ermi (Februari 2020). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Prajnya Media. ISBN 978-979-19892-1-3.
- Ramadhani, Sulistyani Puteri (Desember 2018). Yiesa Media Karya, ed. Bumi dan Antariksa: Konsep dan Panduan Pengajar Inovatif (PDF). Depok: Yayasan Yiesa Rich. ISBN 978-623-925-003-4.
- Waton, Fidelis Regi (Agustus 2021). "Diktatur Digital dan Gemuruh Pencerahan". Dalam Tapung, M. M., dan Jelahut, M. S. Bunga Rampai Diskursus Sosial Humaniora Covid-19: Bonum atau Malum? (PDF). Ruteng: Penerbit Unika Santu Paulus Ruteng. ISBN 978-623-7318-19-4.