Gunung Gumitir

gunung di Indonesia

Gunung Gumitir (dialek Jawa: gumitèr) merupakan sebuah gunung yang terletak di wilayah perbatasan antara Kabupaten Jember dengan Kabupaten Banyuwangi, lebih tepatnya antara kecamatan Silo dengan kecamatan Kalibaru, Provinsi Jawa Timur.[1][2][3] Gunung ini terkadang juga disebut dengan nama Gunung Mrawan (bukan desa Mrawan).

Gunung Gumitir
Titik tertinggi
Ketinggian620 m (2.034 kaki)
Penamaan
Pengucapangumitèr
Geografi
LetakIndonesia Jawa Timur, Indonesia

Sejak zaman dulu, jalan raya di Gunung Gumitir telah menjadi jalur penghubung terpendek antara Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Gunung Gumitir dipilih sebagai jalur penghubung, karena memiliki ketinggian paling rendah di antara deretan pegunungan yang lain, dari Gunung Raung (utara) hingga Gunung Kidul (selatan).

Etimologi

sunting

Gumitir, gemitir, kumitir, atau kemitir merupakan nama tanaman Tagetes erecta yang memiliki bunga berwarna kekuningan. Di Bali, bunga gumitir banyak digunakan untuk membuat sesajen (canang sari).[4] Dalam kepercayaan Jawa kuno, alang-alang kumitir merupakan nama kahyangan dari Sang Hyang Wenang.[5][6]

Sejarah

sunting

Legenda

sunting

Menurut legenda yang beredar di kalangan masyarakat, terutama penduduk kabupaten Banyuwangi, nama gumitir berasal dari kisah Damar Wulan. Setelah Damar Wulan berhasil membunuh dan memenggal kepala Menak Jinggo, ia bertemu Layang Seta dan Layang Kumitir, putra kembar patih Logender, di tengah jalan. Keduanya berhasil menipu Damar Wulan dan merampas kepala Menak Jinggo.[7] Gunung tempat keduanya menipu Damar Wulan akhirnya dikenal dengan nama Gunung Kumitir atau Gunung Gumitir.[8]

Masa kolonial

sunting

Wilayah Gunung Gumitir telah menjadi perhatian pemerintah kolonial Belanda, antara lain pembangunan lintasan kereta api oleh Staatsspoorwegen pada tanggal 10 September 1902 dan pembangunan pabrik pengolahan kopi Goenoeng Goemitir yang diresmikan pada tanggal 13 Agustus 1934.[9][10]

Masa penjajahan Jepang

sunting

Pada masa penjajahan Jepang, serdadu Dai Nippon membangun sebuah gua untuk mengawasi jalur kereta api yang melintasi Gunung Gumitir. Gua Jepang tersebut terletak sekitar 100 meter dari Watu Gudang, terbuat dari beton tebal dengan ukuran sekitar 6 m × 8 m.[11]

Masa kemerdekaan

sunting
 
PTPN XII
 
Salah satu komplek perumahan perkebunan PTPN XII

Wilayah Gunung Gumitir dilindungi dan dikelola oleh Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyuwangi Barat dan PT Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII) unit Kebun Gunung Gumitir.[1][12]

Komoditas utama Perum Perhutani KPH Banyuwangi Barat disini adalah jati, pinus, dan mahoni; sementara komoditas utama PTPN XII di Gunung Gumitir adalah kopi robusta, pohon jarak, dan berbagai kayu-kayuan.[12][13]

Jalur transportasi

sunting

Pada gunung ini terdapat jalur penghubung antara Jember-Banyuwangi, baik berupa jalan raya maupun rel kereta api.[3]

Lintasan mobil

sunting
 
Watu gudang

Jalan raya di Gunung Gumitir adalah satu-satunya jalur penghubung antara Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember. Jalan dengan panjang sekitar delapan kilometer ini berkelok-kelok menyusuri tepian gunung.[3] Puncak teratas dari jalan raya ini dikenal dengan nama Watu Gudang. Dinamai demikian karena disini terdapat batu raksasa (diibaratkan ukurannya sebesar gudang) yang harus dihancurkan bagian tengahnya agar batu tersebut dapat dilewati oleh jalan raya. Batu Gudang ini pernah kembali dipapras dalam rangka pelebaran jalan.

Kondisi Jalan

sunting

Jalan raya di Gunung Gumitir cukup berbahaya karena memiliki banyak tikungan tajam, lereng curam, dan lebar jalan yang sangat sempit. Padahal setiap harinya, kendaraan berat seperti truk dan bus selalu melewati jalan raya ini. Sehingga, biasanya di setiap tikungan yang berbahaya selalu ada penduduk setempat yang membantu mengarahkan pengguna jalan dan memberi tanda apakah ada kendaraan dari arah berlawanan yang juga akan melewati tikungan tersebut. Tentu saja, ini sangat membantu para pengemudi kendaraan berat yang melewati jalan ini. Para penunjuk jalan ini biasa disebut awe-awe (Jawa= "melambai-lambai") karena mereka melambai-lambaikan tangan untuk memberi tanda pada pengguna jalan.[14]

Seiring perubahan waktu, pelaku awe-awe tidak hanya sekadar membantu penguna jalan, tetapi berkembang menjadi media untuk meminta-minta. Para penunjuk jalan tersebut umunnya terdesak oleh kebutuhan ekonomi.[14]

Tanah longsor

sunting

Jalan raya di Gunung Gumitir sering terputus akibat tanah longsor. Ini dikarenakan, tanah di Gunung Gumitir tergolong labil dan memiliki tingkat kecuraman lereng yang tinggi. Faktor dominan penyebab longsor adalah penggalian tebing, kemiringan lereng, dan tekstur tanah. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh banyaknya alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan, jalan, dan bangunan rumah makan.[2][3]

Secara garis besar, jalan raya di Gunung Gumitir termasuk daerah yang memiliki tingkat kerentanan longsor sedang yang tersebar di sepanjang jalan seluas 24,30 ha.[2] Tingkat kerentanan longsor tinggi terdapat di km 34 hingga km 37+4. Tingkat kerentanan longsor sedang terdapat pada km 40+6 hingga km 41, km 39+4 hingga km 40+6, km 38+5 hingga km 39+4, dan km 37+7 hingga km 38+2. Tingkat kerentanan longsor rendah terletak pada km 32+7 hingga km 34+1 dan km 37+4 hingga km 37+7.[3]

Jalur kereta api

sunting

Gunung Gumitir juga ditembus oleh dua terowongan kereta api yang sudah dibangun semenjak masa kolonial Belanda, yaitu terowongan Mrawan dan terowongan Garahan. Terdapat dua buah stasiun yang terletak di wilayah Gunung Gumitir, yaitu Stasiun Mrawan dan Stasiun Garahan, keduanya masih tetap melayani persilangan kereta api tetapi tidak lagi melayani aktivitas naik-turun penumpang.

Pariwisata

sunting

Lori Kaliraga

sunting

Lori Kaliraga (kependekan dari Kalibaru-Mrawan-Garahan) merupakan sebuah paket wisata yang ditawarkan oleh PT Kereta Api Indonesia wilayah Daop IX Jember dan merupakan bagian dari proyek Pusat Pelestarian Benda dan Bangunan PT. Kereta Api Indonesia untuk mengeksplor lebih dalam beberapa jalur bersejarah dan unik peninggalan Hindia Belanda. Wisata ini menawarkan agrowisata dengan naik lori melintasi perkebunan kopi, cokelat, hutan pinus, dan panorama Gunung Gumitir. Lori berangkat dari Stasiun Kalibaru menuju Stasiun Mrawan dan berakhir di Stasiun Garahan, kemudian kembali lagi. Perjalanan wisata ini juga melewati Terowongan Garahan (113 m) dan Terowongan Mrawan (690 m).[15][16]

Café & Rest Area Gumitir

sunting
 
Bangunan utama Cafe Gumitir pada tahun 2015
 
Kursi kayu raksasa

PTPN XII mendirikan "Café & Rest Area Gumitir" yang mulai beroperasi pada tanggal 14 Maret 2010 sebagai salah satu bentuk optimalisasi lahan perkebunan BUMN tersebut, selain tetap fokus dalam bisnis komoditas utama yaitu kopi, karet, kakao, teh, dan kayu-kayuan. Area café yang semula hanya satu 1 hektar terus dikembangkan menjadi 3 hektar dengan laba yang terus meningkat, yaitu sebesar Rp1,7 miliar (2011) menjadi sekitar 2 miliar (2012).[17][18]

Sarana yang disediakan oleh Café Gumitir adalah sebagai berikut:[17]

  1. Permainan Outbound (spider web, jumping dot, jembatan elvis), Flying Fox.
  2. Kereta wisata dan kendaraan Willys mengelilingi wilayah PTPN XII Gunung Gumitir.
  3. ATV
  4. Berkuda.
  5. Area bermain anak, area perkemahan, lapangan olahraga.
  6. Live music.
  7. Mushola dan gedung pertemuan dekat pabrik pengolahan kopi.

Salah satu daya tarik Café & Rest Area Gumitir adalah kursi kayu raksasa dari kayu kayu Segawe (Adentahera microsperma) untuk tempat berteduh dan gardu pandang. Kursi ini berukuran 3x3 m², tinggi alas 2,5 meter, dan tinggi sandaran 5,3 meter.[17]

Konservasi alam

sunting
 
Sebagian lahan hutan yang berubah fungsi menjadi perkebunan kopi

Kawasan hutan Gumitir merupakan habitat bagi monyet. Sekitar tahun 1990an, banyak penduduk sekitar yang menangkap monyet untuk dijual. Hal tersebut menyebabkan komunitas monyet di Gunung Gumitir menjadi berkurang dan tidak pernah terlihat berkeliaran bebas di tepi-tepi jalan seperti sebelumnya. Setelah ada pengawasan ketat dari Perhutani, komunitas monyet di Gunung Gumitir kembali meningkat meskipun sangat jarang dapat ditemui di tepi jalan.

Setelah kerusuhan 1998, sebagian wilayah hutan Gunung Gumitir ditebang oleh orang-orang tidak bertanggung jawab dan dialihfungsikan sebagai lahan perkebunan. Hal tersebut menyebabkan rusaknya wilayah hutan beserta pepohonan berusia puluhan tahun atau lebih serta peningkatan suhu udara rata-rata yang dampaknya terasa hingga ke Kota Kalibaru. Hingga kini, wilayah hutan masih digunakan sebagai lahan perkebunan rakyat dengan hak sewa kepada Perum Perhutani.

Hal ini juga berdampak kepada mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar berubah menjadi petani karena banyak yang memiliki lahan garapan. Selain itu, para pengrajin rotan juga menjadi buruh tani karena bahan baku yang biasa mereka gunakan ikut hilang bersama alih fungsi lahan. Secara garis besar, alih fungsi lahan memberi dampak positif pada peningkatan kesejahteraan penduduk sekitar.[19]

Galeri

sunting

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b Vivin Kartika Wardani. 2014. Kinerja Karyawan PT Perkebunan Nusantara XII Wilayah I Gunung Gumitir Diarsipkan 2015-02-09 di Wayback Machine.. Abstrak Skripsi. Universitas Jember.
  2. ^ a b c Aminatus Zuhro Ensiyawatin. 2010. Tingkat Kerentanan Longsor di Jalur Jalan Sepanjang Gunung Gumitir Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi Diarsipkan 2015-02-09 di Wayback Machine.. Abstrak Skripsi. Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.
  3. ^ a b c d e Akvian Erie Prawira. 2014. Tingkat Kerentanan Bencana Longsor pada Jalur Gunung Gumitir (Jalan Penghubung Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember) Diarsipkan 2021-02-27 di Wayback Machine.. Abstrak Skripsi, Jurusan Geografi FIS, Universitas Negeri Malang.
  4. ^ Julianto. 05 Agustus 2014. Tabloit Sinar Tani, Usaha Tani Gumitir Takkan Getir Diarsipkan 2015-02-09 di Wayback Machine..
  5. ^ Achmad Effendi Kadarisman. 2009. Sketsa Puitika Jawa: Dari Rima Anak-Anak sampai Filsafat Rasa Diarsipkan 2022-08-10 di Wayback Machine.. Kegiatan Tri Darma Dosen. Universitas Negeri Malang
  6. ^ G.P.H. Hadiwidjojo. 1958. "Alang-alang Kumitir". Yayasan Sastra Lestari.
  7. ^ Kaori Okado. 2011. When Women are Kings: Cross-Gendered Expression in an All-Female Central Javanese Court Dance-Drama and Its Public Reception Diarsipkan 2023-03-31 di Wayback Machine.. UrbanScope 2: 19-30.
  8. ^ Udi Putrowangi. 25 Oktober 2012. Kota Banyuwangi Diarsipkan 2015-02-09 di Wayback Machine..
  9. ^ Terowongan Mrawan Diarsipkan 2021-03-21 di Wayback Machine..
  10. ^ Pabrik Pengolahan Kopi Gunung Gumitir Diarsipkan 2021-09-22 di Wayback Machine..
  11. ^ Radar Jember. 7 Agustus 2014. Mengunjungi Bunker Peninggalan Jepang di Desa Sidomulyo Silo Diarsipkan 2015-02-09 di Wayback Machine..
  12. ^ a b Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur.Profil Perkebunan: UUS Gunung Gumitir Diarsipkan 2015-02-09 di Wayback Machine.
  13. ^ Tim Penulis. 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019 Diarsipkan 2022-08-03 di Wayback Machine.. Jakarta: Direktorat Pangan dan Pertanian,Bappenas.
  14. ^ a b Didit Saputro. 2011. Potensi dan kendala Pelaku Awe-Awe di Gunung Gumitir Diarsipkan 2022-08-18 di Wayback Machine.. Abstrak Skripsi. Program Studi Sosiologi, Universitas Jember.
  15. ^ Anonim. Situs Resmi PT KAI. Layanan Produk Diarsipkan 2015-03-19 di Wayback Machine.. Diunduh tanggal 9 Februari 2015].
  16. ^ Anonim. Website Resmi Pemerintah Banyuwangi. Menikmati Keindahan Gunung Gumitir dengan Berwisata Lori Diarsipkan 2022-08-12 di Wayback Machine..
  17. ^ a b c Sri Roswati. 22 Agustus 2014. Tempo Kini, Alas Gumitir Membutuhkan Sentuhan Tanganmu, Pemerintah Diarsipkan 2015-02-09 di Wayback Machine..
  18. ^ Mahbub Djunaidy. 05 MARET 2013. Tempo, Menikmati Blusukan Kebun dan Pabrik Kopi Gumitir Diarsipkan 2015-02-09 di Wayback Machine..
  19. ^ Arie Kusuma Wardani. 2011. Perubahan Kondisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Akibat Alih Fungsi Lahan Hutan Menjadi Perkebunan di Desa Kalibaru Manis Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi Diarsipkan 2015-02-09 di Wayback Machine.. Abstrak Skripsi, Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.

Pranala luar

sunting